10 Maret 2024
HARI MAKAN MAKAN" ANTARA MUHIBBAH DAN DOSA
03 November 2023
SEUKE LHEE REUTOH (300)
Sebuah kalimat singkat dari lagu Rafli yang penuh teka teki pada diri saya tentang makna yang terkandung dalam syair ini, dan dengan penuh rasa penasaran saya, akhirnya saya menelusuri tentang sejarah dibalik kalimat itu, dan inilah sedikit dr dari sekian banyak kutipan yang saya dapat di website teman2 blogger lainnya.
Bila diartikan menjadi “Kaum Tiga Ratus sebagai biji drang, sebangsa kacang tanah yang tumbuh setelah musin memotong padi; segala jerami mati lalu tumbuh sendiri pohon drang dengan subur. Kaum Ja Sandang sebagai jeura haleuba (biji kelabat) warna kuning. Biji ini digunakan untuk campuran menghilangkan bau hanyir. Biji tersebut lebih besar sedikit dari biji drang. Kaum Ja Batee atau disebut Tok Batee bacut-bacut, yakni hanya sedikit. Kaum Imum Peuet, mereka yang mengguncang dunia maksudnya berpengaruh besar dan berperanan penting dalam pemerintahan.”
Asal muasal sebutan Lhee Reutoh atau “Tiga Ratus”, menurut cerita suatu ketika terjadi sengketa hebat antara golongan rakyat asli sekitar tiga ratus orang, dengan golongan pendatang Hindu sekitar empat ratus. Persengketaan hampir saja disusul dengan bentrok senjata antara dua golongan tersebut yang dipicu oleh kasus perzinahan. Namun, ditengah kecamuk tersebut, hadirlah penengah untuk memberikan jalan keluar dari persengketaan yang berlangsung.
Mereka yang bersalah akhirnya menerima keputusan, sehingga kesalahan mereka dimaafkan dan kedua pihak kemudian mengikat silaturrahmi dengan akrab. Cerita ini memang tidak terjamin kebenarannya, karena ada pendapat yang menyatakan bahwa sebutan lhee reutoh dimaksudkan 300 keluarga atau 300 pria yang sanggup berperang, bahwa yang dimaksud disini adalah persekutuan (konfederasi) zaman dulu dan pasti terjadi dalam masa kesukaran atau perjuangan bersama.
Ja Sandang atau Tok Sandang. ja atau to yang berarti nenek moyang, kedua nama tersebut juga disebut Eumpee (dalam bahasa Melayu: empu). Sedangkan Cut berarti kecil, dipakai untuk awal nama pria atau wanita terkemuka. Sandang yang sebenarnya berarti membawa sesuatu di bawah lengan yang diikat pada tali yang melingkar bahu, nama ini masih melekat pada seorang pria saudara lelaki dan banta dari Teuku Nek yang sekarang disebut Teuku Sandang.
Selain ada cerita turun temurun di kawasang Mukim XXII, wilayah suku pribumi Manteue atau sering disebut sekarang daerah Lampanah yang menceritakan bahwa ketika Sulatan Al-Kahhar berangkat ke Pidie untuk suatu pengamanan, maka melewati Mukim XXII Lampanah dan mengalami kehausan, tiba-tiba saja dia bertemu dengan orang penyandang nira (ie jok). Orang tersebut menawarkan air niranya kepada Sultan dan menyambutnya dengan begitu rasa lega terutama setelah selesai memimunnya.
Sultan pun berterima kasih dan mengundang orang tersebut ke Dalam (sebutan Istana, -pen) di Banda Aceh untuk memberikan dia penghargaan sebagai tanda balas jasa atas kebaikan yang diberikannya kepada Sultan. Namun, orang tersebut pun bertanya, bagaimana bisa dia masuk ke Dalam dan dikenal oleh para pengawal istana. Sultan pun memberi petunjuk kepada orang tersebut dengan menyandang bambu (pajok) nira serta memberikan tanda sehelai daun kelapa di kepalanya. Akhir cerita setiap kali Ja Sandang pergi ke Istana, lambat laun diangkat oleh Sultan menjadi kadi dengan gelar Maliku’l Adil (Malikon Ade) karena dipercaya sebagai orang baik.
Ja Batee atau Tok Batee, menurut cerita ketika Sultan Al-Kahhar merencanakan
pembangunann sebuah istana batu, maka dikeluarkan perintah supaya golongan
pendatang dari luar daerah ini bergotong royong untuk mencari dan membawa
batu-batu untuk pembangunan istana. Tiba-tiba pada suatu hari golongan ini saat
mengumpulkan batu, Sultan memberikan seruan bahwa pencarian batu bisa
dihentikan dan sudah cukup (tok batee). Sejak itulah golongan tersebut
dinamakan kaum Tok Batee.
Sedangkan kawom terakhir yang dikenal dengan Imum Peueut (Empat Imam) disebabkan karena mereka menempati empat mukim, yaitu Tanoh Abe, Lam Loot, Montasik dan Lam Nga. Setiap mukim yang didiami dikepalai oleh seorang imam masing-masing dan kesemuanya ada empat imam sehingga menjadi Imum Peueut.
Memang jika dilihat lebih telisik, Imum Peueut menunjukkan persekutuan berbeda dibandingkan tiga sukee (Lhee Reutoh, Ja Sandang dan Ja Batee). Perlu diketahui bahwa jabatan Imum sama sekali terpisah dari kawom. Imuem ini bertugas sebagai pemimpin dalam hal ibadah dan tidak memperoleh pangkat apa pun di dalam masyarakat.
Ureung Aceh adalah orang yang berjiwa kosmopolitan alias bisa menerima siapa saja atau suku bangsa apapun. Untuk mengelompokkan etnisitas, sistem kerajaan Aceh menyusun kependudukan berdasarkan negeri asal suku bangsa tersebut, sebagaimana dilukiskan dalam hadih maja “Sukee lhee reuthoh bak aneuk drang, Sukee ja sandang jeura haleuba, Sukee tok bate na bacut bacut, Sukee imuem peut yang gok-gok donya.” Harus diakui, tidak banyak orang memahami hadih maja tesebut.
Selain itu juga ada Imum yang menjadi kepala daerah (mukim), jabatan yang dimaksud adalah penguasa yang membentuknya tentu ada hubungan dengan agama.
Sukee di sini dalam kata lain artinya suku sehingga hadih maja ini menggambarkan keragaman suku bangsa di dunia yang berdomisili di Aceh. Semuanya berhasil disatukan oleh sultan Alaidin Riayatsyah Al Qahhar (5537-1565) di bawah panji Islam dan terayomi di bawah payung kerajaan Aceh Darussalam.
Suku lhee reutoh diumpamakan bak aneuk drang, berarti seperti
pohon padi yang tumbuh kembali setelah musim panen. Bahasa lain adalah sebuah
pengambaran tentang suku tiga ratus ini banyak sekali dibandingkan dengan suku
lain yang berada di tanah rencong. Kelompok suku tiga ratus ini di antaranya
Batak Karee, Mante, Gayo, Alas, dan Kluet. Sebagian Batak Karee saat itu
berdomisili di Lampanah dan Lamteuba, Aceh Besar. Sedangkan pendatang dari
India dan kawin dengan penduduk asli mareka dikelompokkan dalam suku ja
sandang. (http://acehabad.blogspot.com/2016/04/menelusuri-sejarah-keturunan-aceh-sukee.html)
Marcopolo, seorang pengembara Venetia, Italia yang mengaku pernah tinggal di
kerajaan Pasai selama lima bulan pada tahun 1292 M di zaman pemerintahan
Malikussaleh. Dalam catatan hariannya “The Travel of Marcopolo” melukiskan, di
Pasai banyak sekali berdomisili orang India, mereka kawin dengan penduduk asli
setempat. Al Qahhar juga mengakui keberadaan imigran Arab, Cina, Jawa, Bugis,
Jamee, Semenanjung tanah melayu, mareka ini dimasukkan dalam suku Tok Batee
yang diistilahkan na bacut bacut (kaum minoritas), mereka menguasai perdagangan
dan bisnis.
Sedangkan mantan para pemimpin yang tersisih atau diusir dari negerinya akibat berlawanan alur politk di negara asalnya, yakni semacam polical asylum (suaka politik) sekarang, dikelompokkan dalam Suku Imuem Peut, kelompuk ini digambarkan mampu menggoncangkan dunia, karena ilmu pengetahuannya. mereka dianjurkan kawin dengan penduduuk Aceh Asli agar melahirkan keturunan cerdas.
Kutipatan tulisan dan penjelasan secara langsung sudah cukup untuk bisa saya pahami bait lirik lagu Rafli tersebut. Semoga generasi muda Aceh tidak pernah melupakaan adat budaya endatu. Bercermin dari negeri tetangga Malaysia yang menanam paham, ilmu pengetahuan, jabatan atau apalah boleh internasional tapi tidak pernah melupakan adat dan budayanya, hal ini bisa dilihat dari gadis-gadis melayu yang masih setia dengan baju kurungnya. (http://sisadit.blogspot.co.id/)
20 November 2021
12 November 2020
LABI-LABI, DI ACEH BUKANLAH JENIS HEWAN
I was born and lived in Aceh, to be precise in Lueng Bimba Village, Kuta Simpang, Meurah Dua Subdistrict (formerly Meureudu District), Pidie Jaya Regency (formerly Pidie). In my area, I have a traditional Acehnese public transportation tool that is different from other means of transportation. in line with the times, nowadays this transportation tool is rarely found in Aceh. Now in 2020, the transportation tool only lives in a few areas and only a few units are left.
The name is Labi-Labi, but this is not
a type of animal, this is a typical means of transportation for the people of
Aceh. This Labi-Labi is a Carry-type pick-up car which is modified into a mini
bus that is unique to Aceh. In general, Labi-Labi has an inter-district route
that carries passengers between villages. Labi-Labi can carry 14 passengers in
the back room and 2 passengers in front plus 1 driver, while 1 carnet usually
hangs at the back door. On the roof of this Labi-Labi usually contains goods
such as vegetables from the countryside which are transported to the sub-district
capital.
22 September 2020
DIMASA AKB INI PIKIRKANLAH SECARA PSIKOLOGI
Seharusnya, kita hidup di masa AKB (Adaptasi Kebiasaan Baru)
1. Pisahkan diri anda dari berita tentang virus, tidak usah mencari tau lagi, karena semua sudah kita tau.
2. Jangan mencari informasi tambahan di internet, itu akan melemahkan mental anda.
3.Hindari mengirim pesan fatalistik lewat WA, FB, messenger, IG dll ( SOSMED ). karena kondisi mental teman anda tidak sama dengan anda, itu bisa membuat mereka depresi.
4 Mendengarkan alunan ayat2 Al Qur'an, atau kita sendiri yang membacanya.
5.Suasana hati positif menambah kekebalan tubuh.
6.Dan yang paling penting kita harus percaya bahwa semua ini akan ada kesudahannya. Karena Allah Maha Pengasih & Penyayang
Saran-saran Penting dari Para Ahli Jiwa
1. Jauhkan diri Anda dari berita tentang virus corona. Segala yang perlu anda ketahui, kini anda memang sudah mengetahuinya.
2. Jangan mencari jumlah yang mati, karena ini bukan pertandingan sepak bola untuk mengetahui hasil akhir ... Hindari itu.
3. Jangan mencari informasi tambahan di Internet, karena itu akan melemahkan kondisi mental anda.
4. Hindari mengirim pesan yang menakutkan dan membuat frustrasi, karena beberapa orang tidak memiliki kekuatan mental yang sama seperti anda. Anda sudah tidak membantu mereka, anda bahkan akan merangsang penyakit mereka, misalnya depresi.
5. Dengarkan dan hibur hati anda dengan suara Al-Quran di rumah, cari permainan untuk menghibur anak-anak, bertukar percakapan dengan mereka dan cerita kisah2 kepada mereka.
6. Pertahankan disiplin di rumah dengan mencuci tangan dengan sabun dan air secara teratur dan memperingatkan semua orang yang tinggal bersama Anda.
7. Suasana hati positif anda akan membantu melindungi sistem kekebalan tubuh Anda, karena pikiran negatif telah terbukti melemahkan sistem kekebalan tubuh Anda dan membuatnya tidak dapat melawan virus.
8. Yang paling penting dari semuanya adalah Anda sangat yakin bahwa epidemi ini akan berlalu dan kita semua akan selamat ....!
Bersikaplah positif ... jagalah keamanan...
DUNIAKU DULU DAN SEKARANG
17 November 2017
Gara-Gara Terpijak Kodok
Pada suatu hari 4 anak manusia (Dodi, Nia, Dani & anda yg sedang baca ini) pergi ke gunung untuk camping, sampai di kaki gunung bertemu dengan seorang nenek, kemudian nenek itu bertanya, mau kemana nak? mau ke puncak gunug itu nek jawab Nia dan di iyakan oleh Dodi, anda n Dani, lalu nenek itu bilang jika mau ke gunug itu jangan sampai terpijak kodok ya karena kalau sampai terpijak kodok nanti dapat jodoh jelek, 4 anak muda mudi itu pun bingung seolah-olah tidak percaya yang nenek itu bilang tadi. Mereka pun meneruskan perjalanan ke gunung tersebut, dalam perjalanan itu tiba-tiba Dani terpijak seekor kodok, maka tertawalah anda, Dodi n Nani karena ingat pesan nenek tadi, tak lama kemudian Nia yang terpijak kodok lagi, tertawalah lagi anda n Dodi, sampai di puncak gunug, anda n Dodi senang sekali karena tidak terpijak kodok tadi waktu pergi, pas waktu pulag giliran Dodi yg terpijak kodok. Jadi tiggal anda sendiri yg tidak terpijak kodok itu, senang banget memang anda karena nanti dapat jodoh yg tidak jelek kayak Dodi, Nia n Dani seperti yang dikatakan oleh nenek itu. Satu tahun kemudian, jumpa lagi Dodi, Nia n Dani dg anda dan semua sudah ada pasangannya, memang pasangan mereka jelek semua karena terpijak kodok waktu naik gunung dulu. Lalu mereka bertanya pada pasangan anda, "maaf bang, kenapa abang bisa nikah dengan dia (anda)?". Pasangan anda dengan tenang menjawab, "iya, saya juga tidak tau mengapa bisa nikah dengan dia, mugkin karena dulu saya pernah terpijak kodok waktu naik gunung".
Rupanya pasangan anda lah yg terpijak kodok bukan anda. habislah cerita nyan, kapan2 saya sambung lagi ya..........anda terbukti JELEK
Maaf hanya tuk humor krn susah tdur malam
14 Oktober 2012
Jufri Ismail Kembali Pimpin Lueng Bimba
23 Juli 2011
SELAMAT UNTUK DESA KU LUENG BIMBA
25 Agustus 2010
MEURUKON DALAM BUDAYA ACEH
Materi yang diperdebatkan, serta jawaban yang diberikan akan dinilai oleh para hakim yang disebut Syeh Kuna yang biasanya berjumlah tiga sampai lima orang. Materi yang diperdebatkan dalam meurukon semuanya soal agama.
Perdebatan dalam meurukon sangat alot. Untuk menghindari salah tafsir dari meurukon, acara ini tidak disebut sebagai pertandingan atau adu argumen soal agama. Tapi disebut sebagai acara meutrang-trang agama, saling menjelaskan soal pemahaman agama.
Acara meurukon biasanya diadakan di sebuah rangkang (balai), makanya disebut juga sebagai ajang debat ala tengku rangkang. Namun sering juga diadakan di meunasah (surau). Kafilah yang akan berdebat duduk bersila di atas balai. Antara kafilah yang satu dengan lainnya duduk terpisah. Permulaan meurukon diawali dengan khutbah meurukon. Syeh setiap kafillah menyampaikan mukaddimah, memperkenalkan kafilahnya kepada penonton.
Ciri khas meurukon adalah, materi yang diperdebatkan semuanya berkaitan dengan hukum Islam. Mengajukan dan menjawab pertanyaan disampaikan dalam syair yang spontanitas. Hal inilah yang jadi daya tarik meurukon. Di kampung-kampung Aceh, saat pergelaran meurukon, masyarakat berbondong-bondong untuk megikutinya. Karena ada pengetahuan agama yang diajarkan melalui perdebatan para kafillah. Malah ada ibu-ibu yang ikut membawakan ayunan untuk menidurkana naknya di tempat pergerakan meurukon.
Kemampuan syeh setiap kafillah membangkit radat (irama) mampu membuat penonton betah sampai pergelaran meurukon usai. Suasana meurukon terasa sangat hidup ketika suara syeh setiap kafilah melengking membangkitkan berbagai irama syari religi. Syair mengajukan dan menjawab pertanyaan yang kemudian diikuti oleh para anggota kafilah.
Setelah khutbah meurukon, syeh kuna mengajukan beberapa pertanyaan pembuka kepada setiaf kafilah secara bergiliran. Syeh kuna akan melilai tinkat kebenaran dan rincian jawaban masing-masing kafilah. Babak selanjutnya syeh kuna tidak lagi mengajukan pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya akan diajukan sau kafilah ke kafilah lain, syeh kuna hanya menilai, pertanyaan dan jawaban yang diberikan. Saat saling melemparkan pertanyaan dan menjawab itulah penonton mendapat kupasan ilmu agama.
Kafilah yang mendapat pertanyaan, dengan dikomandoi syeh akan menjawab pertanyaan tersebut. Kemudian kafilah penanya akan merespon apakah jawaban yang diberikan benar atau tidak. Adakalanya antara penanya dan penjawab merasa sama-sama benar. Untuk mencari mana kebenaran yang sesungguhnya, maka pertanyaan itu dilemparkan secara bersama kepada syeh kuna untuk meluruskannya. Meminta penilaian syeh kuna juga dilakukan melalui syair. Salah satu syair itu adalah:
Teungku ka meunan kamoë ka meunoë
Bak Masaalah nyoë bek temeudawa
Wahé e teungku guree dikamoë
Lon Pulang jinoeu nibak syeh khuna.
Selanjutnya, Syeh Kuna akan meluruskan jawaban, dengan berbagai dalil. Karena itulah acara meurukon disebut juga sebagai ajang bedah kitab keislaman. Kemampuan setiap kafilah dalam mengajukan dan menjawab pertanyaan sanat bergantung pada banyaknya referensi kitab yang mereka baca. Malah, satu pertanyaan sering dikupas sampai berjam-jam. Untuk mengupas tata letak akasara dalam kalimah bismillah saja kadang membutuhkan waktu semalam suntuk.
Kita berharap pemerintah memberdayakan kembali acara meutrang-trang agama ini. Karena melestarikan meurukon berarti melestarikan tiga hal sekaligus, yakni meurukon itu sendiri sebagai budaya yang religius, metode pendidikan kuliah umum bagi masyarakat melalui meurukon, serta syair-syair religius yang terkandung dalam meurukon itu sendiri.